RSS

Dilema Privatisasi BUMN

Dilema Privatisasi BUMN
Oleh Agus Raharyo

Di Indonesia, privatisasi bukanlah hal yang baru karena telah menjadi kebijakan pemerintah sejak era Suharto dan bahkan telah menjadi faktor utama penyebab keterpurukan perekonomian nasional. Konsep kebijakan privatisasi sebetulnya merupakan bagian dari kebijakan deregulasi secara umum dan kelanjutan proses deregulasi itu sendiri. Pada kasus privatisasi di Indonesia, kebijakan tersebut lahir dan berawal dari keterpurukan perekonomian Indonesia akibat krisis moneter yang telah berkembang menjadi krisis multidimensi dan mengakibatkan BUMN-BUMN mengalami kesulitan untuk meneruskan usahanya, sehingga perlu adanya usaha untuk menyelamatkan BUMN-BUMN tersebut agar tetap eksis.

Motivasi dari kebijakan privatisasi BUMN adalah sebagai upaya mengeliminir peran pemerintah dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perusahaan negara, termasuk perubahan aturan terhadap sistem dan mekanisme pasar. Seperti diungkapkan oleh Savas (1987), privatisasi merupakan tindakan yang bertujuan mengurangi peran pemerintah dan sebaliknya meningkatkan peran swasta dalam pemilikan aktiva atau kekayaan ekonomi. Hal ini beralasan karena memang dalam prosesnya pemerintah sering melakukan intervensi dan kontrol yang berlebihan. Dari sudut manajemen, hal tersebut akan berdampak negatif dan mengganggu kinerja BUMN.

Pada dasarnya, misi dari kebijakan privatisasi adalah baik dan bisa dibenarkan bila tetap berpegang pada tujuan dan sasaran yang hakiki. Tujuan privatisasi bila disarikan akan menjadi beberapa point. Pertama, meningkatkan efisiensi, kedua, peningkatan mutu pelayanan publik dan ketiga, mengurangi serta melepaskan campur tangan langsung pemerintah.

Di era globalisasi, tuntutan kompetisi dan efisiensi dalam kegiatan ekonomi merupakan hal yang mutlak. Untuk mengkampanyekan "kompetisi dan efesiensi", diperlukan sinergi yang kuat antarperusahaan. Semangat "kompetisi" merupakan cara terbaik untuk meyakinkan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen dapat disediakan pada biaya ekonomi terendah. Privatisasi juga memberikan kebebasan memilih "kekuatan pasar" yang dapat menyediakan tekanan secara berkelanjutan untuk meningkatkan efisiensi. Berbagai proteksi masa lalu dan intervensi yang berlebihan, telah berpengaruh pada kebebasan berkompetisi. Untuk dapat bersaing di pasar bebas, perusahaan harus meningkatkan profesionalisme manajemen agar tercapai efisiensi yang tinggi.

Tujuan kedua, peningkatan mutu pelayanan publik. Indikator mutu public services dapat dilihat dari kemampuan perusahaan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat. Yang berarti, masyarakat dapat dan bebas memilih suatu pelayanan perusahaan sektor publik dengan mempertimbangkan pada kualitas pelayanan, atau masyarakat lebih tertarik pada kuantitas, biaya atau prioritas lainnya dalam menentukan pilihan. Berbagai alternatif pelayanan yang berbeda tersebut akan membentuk karakteristik tersendiri dari suatu perusahaan.

Tujuan ketiga, eliminasi intervensi politik Pemerintah. Salah satu penyebab kegagalan dari proses privatisasi adalah terlalu banyak campur tangan pemerintah yang amat buruk bagi manajemen perusahaan. Seperti yang terjadi di Indonesia, pelaksanaan privatisasi tidak berjalan sesuai maksud dan tujuannya, hal ini antara lain akibat inkonsistensi dalam berbagai kebijakan. Artinya, kebijakan yang diputuskan tidak didukung oleh transparansi yang memungkinkan terciptanya persaingan sempurna, baik dalam proses privatisasi itu sendiri maupun kebijakan-kebijakan ekonomi. Privatisasi lebih banyak diwarnai oleh keterlibatan aparat pemerintah lewat praktik-praktik KKN dan kecurangan di sana-sini, yang pada akhirnya melahirkan pertentangan dan kontoversi di tengah masyarakat.

Salah Arah



Kebijakan privatisasi masa Pemerintahan Soeharto yang dimulai pada 1980-an dinilai telah gagal dalam mewujudkan tujuan dan misi utamanya. Beberapa hal yang dapat diperkirakan sebagai penyebab kegagalan privatisasi pada era tersebut, antara lain: arah pembangunan lebih ditekankan pada pertumbuhan daripada pemerataan, tujuan privatisasi lebih ditekankan kepada usaha mencari modal tanpa mempertimbangkan cita-cita pembangunan perekonomian sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33, pemerintah tidak konsisten dalam penetapan bidang usaha yang boleh diusahakan oleh pihak swasta asing, mekanisme usaha serta perangkat hukum yang ada tidak menjamin terciptanya kompetisi yang fair, bahkan cenderung lebih memberikan perlindungan serta keuntungan kepada investor asing. Dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan, jelas bahwa privatisasi yang telah berlangsung selama masa itu telah melenceng dari maksud dan tujuan yang sesungguhnya, yang pada akhirnya telah menghancurkan perekonomian Indonesia.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, privatisasi merupakan upaya mengurangi keterlibatan langsung Pemerintah dalam urusan ekonomi. Diharapkan, pemerintah dapat lebih fokus pada fungsi regulasi. Dengan hadirnya swasta dalam kepemilikan saham BUMN, hal ini akan menghambat campur tangan semena-mena dari berbagai pihak sehingga kinerja BUMN dapat ditingkatkan. Bila kaidah-kaidah privatisasi diterapkan dengan baik dan benar, maka keuntungan yang diperoleh adalah:



1.Transparasi di tubuh BUMN akan terwujud.

2.Manajemen BUMN/Perusahaan akan lebih independen dan terle

pas dari intervensi birokrasi dan politik.

3.Akses pemasaran lebih luas.

4.Perolehan ekuitas baru memungkinkan BUMN dapat mengembang

kan usahanya dengan lebih baik.

5.BUMN berpeluang untuk memperolah pengalihan teknologi,

dari teknologi produksi hingga teknologi manajemen mutak

hir.

6.Terjadinya transformasi budaya BUMN, dari budaya birokra

tis yang lamban menjadi korporat yang gesit dan taat pada

disiplin pasar.

Dalam perjalanannya, privatisasi BUMN di Indonesia selalu mengundang pertentangan dan perdebatan yang panjang. Hal tersebut tidak terlepas dari segala kecurangan dan kurangnya transparasi dalam proses dan pelaksanaannya. Salah satu contoh yang masih hangat adalah kasus divestasi PT Indosat yang hingga kini masih kisruh. Proses divestasi tersebut tidak saja kurang transparan, tetapi juga berbau kecurangan di sana sini, baik berkaitan dengan teknis proses tender maupun dalam penentuan harga jual yang tidak realistis.

Dilema Pemerintah



Memang benar, bahwasanya privatisasi diharapkan akan menjadi jalan yang dilematis apabila tidak memiliki dukungan dan akseptabilitas. Sebagai suatu kebijakan publik, tentu saja proses privatisasi harus dapat mengadopsi aspek-aspek berupa dukungan politik dan akseptabilitas publik. Yang menjadi kendala bagi Indonesia adalah hingga saat ini Pemerintah kita belum bisa menyelaraskan antara dua aspek tersebut. Kebijakan penjualan BUMN cenderung mengabaikan kepentingan nasional dan selama ini berakhir, tidak pada swasta dan masyarakat dalam negeri, tetapi cenderung menjualnya ke pihak asing. Ini jelas sekali menafikkan nilai-nilai nasionalisme dan terlalu bersifat liberal.

Di satu sisi, pemerintah harus melakukan privatisasi karena menyangkut defisit anggaran, namun di lain pihak, pemerintah juga harus berhadapan dengan publik yang menolak aset negaranya dijual ke pihak asing. Opini masyarakat atas sikap pemerintah yang telah menggadaikan aset negaranya, telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi anti privatisasi. Apa pun bentuk dan tujuan dari kebijakan ini pada akhirnya akan ditentang oleh publik. Hal tersebut cukup beralasan karena dampak dari proses privatisasi ini lebih banyak menyengsarakan ketimbang manfaatnya, terutama dari pihak pekerja. Efisiensi, reposisi dan pengurangan karyawan adalah dampak negatif dari program privatisasi. Kejadian-kejadian masa lalu telah menjadi pelajaran yang berarti dan harus dihindari di masa-masa

mendatang.

Privatisasi memang sebuah dilema dan sulit dihindarkan, namun dalam melaksanakan kebijakan ini, kita harus selektif dan ekstra hati-hati, sehingga nantinya akan dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Agar dalam implementasinya tidak mengundang kontroversi dan pertentangan, untuk meminimalisasi gejolak yang timbul akibat privatisasi, sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, perlu landasan filosofi, proses dan tujuan yang jelas. Kedua, mendahulukan kepentingan nasional dengan mengutamakan penjualan aset BUMN kepada pemerintah daerah atau swasta nasional. Ketiga, transparansi dan fairness. Proses yang tidak transparan akan menimbulkan kecurigaan dan lebih jauh dapat menjadi komoditas politik para elite yang anti pemerintah.

Kebijakan privatisasi BUMN tetap harus dilanjutkan pada tahun 2003 ini. Pemerintah memang tidak punya pilihan. Namun, privatisasi yang terus berlanjut tampaknya akan tetap menjadi bahan perdebatan panjang, selama proses dan implementasinya tidak memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara. ***

(Penulis adalah alumnus FE Universitas Muhammadiyah Palembang,

bekerja di Depkimpraswil, Jakarta).

0 comments:

Posting Komentar